Minggu, 20 Februari 2011

PENYUBLIMAN SEJARAH POLITIK ORDE BARU DALAM KUMPULAN CERPEN MEREKA MASIH MENYEBUTKU KAFIR KARYA JAROT DOSO PURWANTO


A.    PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia dari awal kemerdekaannya hingga saat ini mengalami berbagai peristiwa yang mendewasakan iklim perpolitikanya. Di mulai dari tragedi G30S/PKI, Supersemar sampai dengan masa reformasi tahun 1998. Namun mayoritas masyarakat dewasa ini, tidak meyakini kebenaran sejarah bangsa yang ada.
Sejak masa reformasi didengungkan, masyarakat selalu mencoba mencari kebenaran sejarah yang ada. Walaupun masyarakat tidak  secara terbuka menyebarkan informasi tentang kebenaran berita yang ada, tapi mereka berusaha dengan berbagai media seperti dengan karya-karya sastra.
Karya sastra sangat berpotensi untuk mengungkap kebenaran dari realitas yang ada walaupun tidak secara langsung. Dengan penggambaran realitas yang abstrak ini, maka tidak dapat di-judge apakah itu sebagai penulisan sejarah atau hanya sebuah cerita fiktif.
Seperti dalam kumpulan cerpen karya Jarot yang berjudul Mereka Masih Menyebutku Kafir  ini. Berbagai cerita ringan yang dikemas tanpa terkesan politis, ternyata mengandung pencerminan realitas yang ada pada masa Orde Baru. Hal-hal seperti ini yang kemudian penulis maksud dengan istilah “penyubliman”, yaitu dengan memasukkan unsur realitas ke dalam sebuah karya sastra.
Sejak SMA, Jarot sudah banyak berkecimpung dalam kancah politik sederhana. Misalnya dengan mendirikan sebuah kelompok diskusi Marhaen. Hingga akhirnya ia menempuh S-1 di Fisipol UGM. Selepas kuliah, ia kemudian menjadi wartawan di koran harian Republika membawahi desk politik dan agama. Ketika naluri aktivisnya mencium tanda kian rapuhnya rezim Orde Baru, maka ia kembali ke Yogya untuk studi S-2 Ilmu Politik di UGM. Jadi, tak diragukan tentang pengetahuan politiknya.
Dalam kumpulan cerpen terbitan Neosantri ini,  penulis mengungkap ada 4  cerita pendek yang mencoba membuka tabir sejarah Orde Baru. Di antaranya, Ketika Sarmin Ingin Taubat, Ambruklah Beringin Ambruk, sate Bung Harmosar, dan Jangan Paksa Rakyat makan Cacing. Sedangkan cerpen lain, berkisar tentang situasi kampus, dan SMA.

B.     TEORI MIMETIK

Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu bentuk karya sastra merupakan hasil kreasi atau ciptaan sastrawan yang didasarkan pada realita yang terjadi di dalam kehidupan pengarang. Hal ini seperti yang diungkap oleh Plato (via Sayuti, 2001) yang menyatakan bahwa karya seni (dan sastra) hanya menyajikan mimesis (tiruan) dari kenyataan. Sebaliknya, menurut Aristoteles (via Sayuti, 2001) mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan merupakan sebuah proses kreatif. Maksudnya , pengarang berusaha menciptakan kembali kenyataan yang bersumber pada realitas yang ada.

C.    PENYUBLIMAN SEJARAH POLITIK ORDE BARU KE DALAM CERPEN
Seperti yang telah diungkapkan di bagaian pendahuluan, bahwa yang dimaksud dengan penyubliman adalah bagaimana pengarang memasukkan unsur-unsur realitas ke dalam karya sastra.
Dalam cerpen yang bertajuk Ketika Sarmin Ingin Taubat, pengarang ingin menggambarkan sebuah situasi politik pada masa Orde Baru yang terjadi kekontrasan realitas. Selama 32 tahun, kita telah diyakinkan bahwa penguasa Orde Baru adalah pahlawan yang telah meyelamatkan bangsa ini dari pengaruh komunis. Kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa figur-figur yang sekian lama dianggap sebagai pahlawan dan penyelamat bangsa, kini tidak lebih dari cuma seorang pengkhianat bangsa.
Hal ini juga serupa dengan peristiwa Petrus (penembakan misterius). Operasi ini menurut kabar diniatkan sebagai shock therapy untuk mengurangi maraknya kejahatan. Namun slingtingan lain mengatakan, alatan tadi sebetulnya hanya lips service saja. Alasan sebenranya dari operasi petrus menurut slintingan tadi justru sangat politis. Yakni  hidden agenda  rezim Soeharto untuk membabat habis jaringan intelejen yang sudah tidak dapat dipegang kukuh lagi loyalitasannya kepada penguasa. Hanya saja jaringan intelejen itu kebetulan memang dibangun oleh Orde Baru sendiri dari barisan preman, mantan preman, atau penjahat dan mantan penjahat. Sehingga yang tampak di mata rakyat, ketika melakukan operasi petrus itu, Orde Baru seolah-olah tengah menegakkan keamanan dan ketertiban. Padahal sejatinya mereka sedang mengamankan kekuasaannya dengan jalan brutal dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Sedangkan pada cerpen yang berjudul Ambruknya Beringin Ambruk, menceritakan tentang seorang kepala desa yang mengalami phobia, ketika ia mendengar bahwa pohon beringin yang ada di ujung desa tiba-tiba ambruk tanpa sebab. Ia sampai mengutus seluruh rakyat untuk mengupayakan agar pohon beringin itu tetap tegak. Tapi usahanya sia-sia belaka. Wlaupun beringin itu tetap tegak, tapi tetap saja daunnya menjadi kering, tak dapat hidup lagi.
Hal ini menjadi sebuah penggambaran tentang sebuah kekuasaan yang berpayung dari sebuah partai besar yang telah sangat di kenal di kalangan masyarakat Indonesia. Partai Golongan Karya (Golkar). Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pelantikannya secara berturut-turut ini tidak lepas dari himbauan kepada rakyat agar memilih Golongan Karya, yaitu organisasi pendukung pemerintah setara partai yang berkuasa ketika itu, daripada memilih partai oposisi seperti Partai Demokrasi Indonesia atau Partai Persatuan Pembangunan. Fakta membuktikan bahwa paling kurang 80% rakyat Indonesia dalam pemilu selalu mencoblos Golkar ini. Barangsiapa yang ketahuan memilih kedua partai itu akan dipecat dari pekerjaannya, dipenjarakan, atau bahkan yang paling buruk akan dihilangkan secara paksa demi kelanggengan Cendana.
Berbeda lagi dengan cerpen yang berjudul Sate Bung Harmosar. Harmosar yang dimaksudkan ini merupakan singkatan dari hari-hari omong besar. Cerpen ini mengisahkan tentang kekuasaan seorang pemimpin negara yang sangat diktator dan arogan. Hingga seluruh rakyat tidak boleh mempunyai anak lebih dari 2. Apabila lebih, maka anak lebihannya tersebut akan menjadi anak milik negara yang kemudian didik untuk menjadi anak buah Bung Harmosar.
Ini menjadi gambaran menarik tentang era Orde Baru. Polri yang disatukan dengan institusi militer dalam wadah ABRI. Karena disatukan dengan militer di bawah pemerintahan otoriter Soeharto yang didominasi militer, tak bisa lain, Polri pun kerap menjadi alat pengasa untuk merepresi gerakan mahasiswa maupun gerakan rakyat yang menuntun sistem politik yang lebih adil dan demokratis. Harmosar sebenarnya terinspirasi dari plesetan yang dibuat oleh rakyat yang kian tak tahan dengan rezim penindas. Harmoko yang dikenal sebagai mantan menteri penerangan dan suka omong, maka diplesetkan sebagai hari-hari omong kosong.
Satu lagi dari karya Jarot yang berjudul Jangan Paksa Rakyat Makan Cacing. Cerpen ini berkisah tentang seorang ahli rekayasa genetika yang berusaha untuk mensosialisasikan cacing sebagai makanan harian. Hingga ia dan suaminya dianugerahi sebagai tokoh cacing nasional. Namun diakhir cerita, tokoh cacing nasional ini harus tunduk pada rakyat yang melakukan demonstrasi besar untuk menolak hal tersebut.
Salah satu ciri khas dari tiap pemerintahan yang tidak demokratis, termasuk Orde Baru-Soeharto, adalah kesukaannya memaksakan kehendak kepada rakyat. Dari pemaksaan pemilihan partai sampai pemakaian produk-produk tertentu.
Cerpen-cerpan karya Jarot ini dikemas dengan unity  yang sesuai. Tidak terlalu berat untuk dibaca. Karena dari font-nya pun dibuat cukup besar seperti dalam cerita untuk anak-anak. Dalam beberapa halaman pembatas judul, terdapat ilustrasi yang berupa gambar crayon yang sangat menarik.
Memang apabila dilihat secara sepintas lalu, cerpan ini seperti cerpan sederhana dan biasa saja. Tapi ternyata mengandung maksud-maksud tertentu.














DAFTAR PUSTAKA

Hartono. 2005. “Mimikri Pribumi terhadap Kolonialisme Belanda dalam Novel Sitti Nurbaya Karya Marah Rusli (kajian Postkolonialisme)”. Diksi. Yogyakarta : Fakultas Bahasa dan Seni.



Purwanto, Jarot Doso. 2004. Mereka Masih Menyebutku Kafir. Yogyakarta : Neosantri.

Sayuti, Suminto A. 2001. Kritik Sastra. Yogyakarta : Fakultas Bahasa dan Seni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar atau memberi masukan, di sini!