Aspek Analisis :
A. Tokoh
Pada cerpen ini tokoh yang dihadirkan oleh pengarang secara fisiologis tidak ada sebuah kejanggalan, walaupun tidak juga dideskripsikan secara jelas bagaimana penampakan fisiknya. Maksud dari kejanggalan di sini, misalnya tentang tokoh yang tidak berdarah dan berdaging. Jadi, secara logika tokoh-tokoh yang ditampilkan masih dalam taraf normal.
Secara kongkret, tokoh jelas yang terlibat langsung[1] antara lain :
1. Aku tokoh utama
2. Otto Weizenbergen
3. Ibu Pemangku tokoh tambahan
4. Badung
Sedangkan tokoh pendamping[2] antara lain Mas Totok, George Benson, dll. Tokoh-tokoh ini muncul hanya sebagai pelengkap cerita, karena cerpen ini mempunyai sebuah cerita utama dan beberapa cerita sampingan. Hal inilah yang kemudian memunculkan kemutakhiran, selain adanya tokoh-tokoh yang ‘ambigu’ posisinya.
Dalam pemberian nama, secara otomatis nama tersebut mempunyai beban karakter (secara psikologis) atau perwatakan tertentu, dan beban sosiologis walaupun hal tersebut kembali tergantung dari persepsi masing-masing pribadi pembaca. Seperti Nurgiyantoro (2005:165)[3] “Penyebutan nama tokoh tertentu , tak jarang, langsung mengisyaratkan kepada kita perwatakan yang dimilikinmya”. Namun, secara linier, ‘tokoh jelas yang terlibat langsung’ dapat dipersepsikan -persepsi yang mungkin timbul karena nama- sebagai berikut :
No. | Nama | Psikologis | Sosiologis |
1. | Aku | Tidak langsung tergambarkan karena masih tergantung dari konteks yang ditimbulkan dalam cerita, terutama dari dialog yang kemudian muncul. | Idem. |
2. | Otto Weizenbergen | Ia sebagai orang yang bukan berasal dari Indonesia. Jika dari kata “Otto” asosiasinya kepada orang yang ber-ras Mongoloid. Sedangkan kata “Weizenbergen” biasanya diasosiasikan kepada orang yang berdarah Eropa. Intinya, ia teridentifikasi sebagai orang luar Indonesia. | Sebagai warga asing, dampak terhadap status sosialnya cukup ‘dihormati’ oleh masyarakat lokal. |
3. | Ibu Pemangku | Ibu yang dituakan, atau dihormati dalam lingkungan tertentu. Mungkin semacam pemangku adat, dsb. Jadi, menimbulkan persepsi bahwa ia merupakan ibu yang bijaksana, tegas dan baik hatinya. | Jelas, secara kultur masyarakat biasanya ia sangat dihormati. |
4. | Badung | Tergambarkan sebagai orang yang kurang sopan. Tetapi setelah melihat konteks cerita, ia tergambarkan sebagai orang yang ‘manut’ dan tidak ‘neko-neko’. | Biasa saja, normalnya masyarakat. |
Ø Kemutakhiran tergambar cukup jelas pada sisi tokoh-tokoh pendamping yang muncul secara acak dan tidak jelas pada cerita pendamping dari cerita utama yang ada.
B. Teknik Bercerita
Seperti kelayakan pada sastra kontemporer pada umumnya, cerpen ini menggunakan teknik aliran kesadaran (strean of consciousness). Teknik ini berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan (Nurgiyantoro, 2005: 206). Arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap indera bercampur dengan kesadaran dan ketaksadaran pikiran dan perasaan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak (Abrams via Nurgiyantoro, 2005 : 206).
Dalam cerpen karya Danarto ini, strean of consciousness tampak pada sebuah alinea berikut ini :
Ternyata gambarku dan korban yang kubaca itu telah ditangkap ke dalam pesawat pengurainya. Koran itu selanjutnya mengatakan, alasan George Benson rupanya sudah kuat benar, konser jazznya itu sedang ia lelang di hadapan para jutawan Paris dan uang hasil pelelangan itu akan ia sumbangkan kepada kerabatnya Black American yang ia angggap sebagai ‘generasi musnah’ yang harus cepat-cepat dibenahi atau mereka akan menderita. Dan konser itu bubar sebelum pelelangan itu terjadi.
Selain itu, tampak juga penceritaan yang tidak mementingkan ukuran logis dan tidak jelas pembedaan tataran kesadaran tokohnya. Hal tersebut ditemui dari pengungkapan berbagai keadaan yang ada secara sertamerta. Misalnya, kata “ngung”, “klst”, “klui”[4] , “cak”[5], “ck”[6], dan pengungkapan dalam bentuk gambar serta bentuk tertentu yang tersusun dari kata-kata “ngung”, “klst”, “klui”, “cak”, dan “ck” tersebut. Dialog yang dimunculkan juga sangat unik. Dialognya tampak sangat acak, karena merupakan percakapan yang disadap dari pesawat pengurai. Jadi, suara hasil sadapan tersebut ‘ra nggenah’.
“Bagaimana kalau tombol gambar kita tekan?”
“Kemarin aku tidak makan sama sekali.”
k cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak
cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak cak c
“Kok charming amat sih Mbok Semi.”
“Jangan berdesak-desak.”
“Kapan ke sana lagi.”
“gambarnya nggak ada.”
“Rina ada?”
“Baru sekali ini aku melihat tarian suci.”
“Ia tidak tahu artinya.”
“Mereka menikmati acara ini seperti menikmati warung Mbok Semi”
“Ruang dan waktu terkuasai di Bali sini”
“Apa rencana besaok?”
Dalam teknik aliran kesadaran ini, terdapat teknik khusus yang berupa montase, kolase dan asosiasi. Teknik yang paling menonjol dalam cerpen ini, berupa teknik kolase. Teknik kolase adalah teknik yang diibaratkan menempelkan potongan kertas, koran, tutup botol, uang logam, dan sebagainya dalam suatu kanvas sehingga menjadi sebuah karya seni dan antarbenda tersebut lazimnya tidak terpikir adanya hubungan satu dengan lainnya.
[1] Tokoh yang dalam cerpen tersebut terlibat dalam dialog dalam cerita utamanya.
[2] Tokoh yang terlibat dalam cerpen, tetapi tidak terlibat langsung dalam cerita utama.
[3] Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gajah mada University Press.
[4] Suara hasil dari pesawat pengurai.
[5] Suara penari.
[6] Suara bara yang ditaburkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar atau memberi masukan, di sini!