About Me

About Me Myspace Comments
MyNiceProfile.com


Kelahiran (asal muasal)

Nama saya Fitriana Sari. Saya lahir pada hari Ahad, 23 Juni 1985 yang bertepatan dengan tanggal 3 Syawal. Saya dilahirkan di 0 km kota Magelang (di RS Bayangkari yang letaknya di alun-alun kota Magelang.
Bapak saya bernama Muhammad Sukemi. Bapak saya berprofesi sebagai tukang cukur. Ada cerita menarik berkenaan dengan profesi bapak saya. Insya Allah akan saya ceritakan pada bagian yang lain.
Bapak adalah orang yang tegas dan keras. Saat SD, jika saya nakal..hmmm….ijuk bisa melayang ke pantat saya. Tapi saya tidak sakit hati. Karena dengan cara begitu, saya menjadi lebih kuat dan mendiri. Bapak orang yang sangat disiplin. Termasuk dengan hal-hal yang kecil dan sepele. Bapak juga sangat teliti. Menghargai waktu dan open terhadap barang-barang miliknya.
Ibu saya seorang PNS. Seorang pegawai administrasi di SGO Magelang yang kemudian beralih fungsi menjadi SMAN 5 Magelang.
Ibu juga orang yang tegas terhadap aturan, terutama masalah agama. Dari ibu, saya belajar tentang keharusan menuntut ilmu pengetahuan dan agama dengan baik. Ibu adalah orang yang kreatif untuk mencari nafkah selain dari gaji bulanannya. Ibu seorang pedagang yang telaten. Subhnallah....bapak dan ibu adalah pasangan yang klop!


Pendidikan
            Sebelum masuk TK, saya sudah sangat mengidam-idamkan sekolah. Pun sampai sekarang. Saya masih haus untuk sekolah. Sekolah pertama saya di TK Kemala Bayangkari. Lokasinya di antara rumah dan tempat ibu bekerja. Jadi, setelah saya selesai sekolah di TK saya langsung sekolah di SGO. Tetapi, kalo sedang malas, saya main dulu ke tempat teman. Namanya Uut (ah..nama panjangnya lupa..siapa Utami gitu).
            Saat TK saya selalu diikutkan lomba oleh kepala TK. Entah kenapa. Padahal saya merasa tidak mampu. Saya ingat itu. Termasuk ikut lomba pidato yang sampai sekarang saya merasa tidak mampu..hehehe....masih perlu belajar lagi.
           
            Setelah ‘jenuh’ di TK saya kemudian sekolah di SDN Jurangombo 4 Magelang. Sekolah itu adalah sekolah favorit. Saking favoritnya, waktu kelas 6 satu kelasnya berjumlah 50 orang. Hmmm...aku ingat benar, kelasku berjubel. 1 meja panjang untuk 3 orang. Hahaha....
            Ada sebuah ketidaksengajaan ucapan ketika di kelas 3, yang menjadikanku termasuk orang yang diperhitungkan di sekolah. Waktu itu, teman saya, Dita, ditunjuk sebagai dirijen. Dia sudah diajari oleh guru olahraga, tapi tak kunjung bisa. Hingga aku berucap yang tak kuingat :  ‘ngono wae ra iso’. Dan ternyata hal itu dilaporkan ke guru olahraga. Saya kemudian ditunjuk maju untuk menjadi dirijen. Karena saya sudah diajari oleh Bulik Azizah (adik ibu) ya lancar saja. So, saya menjadi DIRIJEN ABADI SAMPAI LULUS.
            Bukan hanya itu. Setelah menjadi dirijen, saya juga dipilih menjadi dokter kecil. Lima dokter kecil terpilih. Empat diantarannya adalah anak-anak yang selalu bertengger pada rangking atas. Dan alhamdulillah...saya pun lulus dengan peringkat lima atas satu sekolah.
           
            SMP. Saya memilih SMP saya sendiri, setelah diberi masukan oleh ibu teman sahabat saya, Dila. Orang tua saya sebenarnya ingin supaya saya bersekolah di SMPN 7 Magelang. Tapi, saya bertekad untuk tetap sekolah di SMPN 1 Magelang. Sekolah favorit di kotaku. Alasannya : biar bisa naik angkutan untuk berangkat ke sekolah. J
            Sewaktu SMP saya tidak terlalu banyak unjuk gigi. Hmm.... Hanya fokus pada pengembangan kelas saja. Menjadi bagian catat mencatat di kelas, dan tetek bengeknya. Kebetulan sekolahku sering -setiap bulan- mengadakan perlombaan. Dari perlombaan kebersihan kelas, maupun lomba majalah dinding. Alhamdulillah..kelasku sering juara. Mendapatkan tropi yang selalu dipertahankan, dan mendapat uang pembinaan untuk kas kelas. Aku menikmati itu semua. Dari membersihkan kelas hingga menyirami tanaman yang ada di dalam dan luar kelas. Memasukkan tanaman ketika pagi dan menggantinya dengan tanaman lain setelah seminggu bosan melihat tanaman itu. Pun mengepel lantai kelas dan papan tulisnya, satu minggu sekali.Waktu itu papan tulisnya masih ditulisi dengan menggunakan kapur tulis. Tetapi, tak ada debu yang menyesakkan dada, karena kami rajin membersihkannya.
            Pun majalah dinding. Selalu up to date. Hmm....mengasyikkan. Nyaman sekali di kelas yang bersih.
           
            SMK. Selulus SMP, alhamdulillah saya lulus dengan nilai yang cukup bagus sehingga saya bisa memilih sekolah sendiri. Saya memilih untuk ke luar kota. Purwokerto. Nama kota yang sangat asing bagiku waktu itu. Arah mana kota itu, saya pun tidak tahu. Ku pikir dekat dengan Solo. Ternyata....wooow.... sekitar 4,5 jam jika ditempuh dengan bus umum. Tapi, saya serasa menemukan diri saya di sana. Di SMK Telkom Sandhy Putra Purwokerto.
            SMK Telkom di Indonesia hanya ada 7 sekolah. Di Jakarta, Banjarbaru, Medan, Malang, Bandung, Purwokerto, dan mm...mana lagi ya lupa. Hehehe... SMK Telkom Purwokerto dan Malang adalah SMK yang selalu bersaing untuk menjadi sekolah nomor satu tingkat SMK se-Indonesia.
            Di Purwokerto, saya tidak mempunyai saudara sama sekali. Sehingga saya harus nge-kos di kota yang baru saja saya kenal. Pertama yang membuat aneh di kota tersebut adalah tentang masakan. Soto, ya..soto.
            Soto adalah masakan kesukaan saya. Di mana pun saya jajan ke warung, jika ada menu soto, maka soto itulah yang ku pilih. Pun ketika saya pertama kali di Purwokerto bersama bapak saya. Bapak menawarkan kepada saya terserah mau makan apa. Maka ku sebutkan “soto”. Berharap, dengan soto yang segar dan berkuah, maka akan menyegarkan tubuh saya yang saat itu memang agak tidak enak badan.
            Mendengar itu, ayahpun berkata untuk membeli satu mangkuk dulu. Kalau kurang boleh nambah lagi. Walau terdengar cukup aneh, tapi saya meng-iya-kan saja.
            Setelah melihat mangkuk yang berisi soto, saya menjadi heran. Aneh sekali warna soto itu. Warnanya kecoklatan. Padahal soto biasanya warnanya kuning. Rasanya pun aneh. Ternyata, di Purwokerto adanya Soto Banyumas. Soto itu rasanya seperti ada kacang tanahnya. Pun bukan dengan nasi, tetapi seperti lontong atau ketupat. Nafsu makan saya pun jadi hilang. Satu mangkuk untuk berdua pun tidak habis kami makan.Pertama kalinya ini saya tahu bahwa soto di Indonesia ini sangat banyak ragamnya.
            Hal kedua yang membuat saya aneh adalah bahasa yang dipakai.