Tampilkan postingan dengan label Homeschooling. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Homeschooling. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 Juni 2020

Renungan tentang Kompetisi (Konco Sinau Charlotte Mason)

 

Kamisan KSCM kemarin (minggu pertama Juni) cuma bahas 1 buyutnya bab, tentang kompetisi. Tapi, siapa kira, pertemuan online 2 jam itu kurang untuk membahasnya.

Suatu hal yang umum, apalagi kita para milenial, dari zaman sekolah sudah berkompetisi dengan memerebutkan rangking di tiap catur wulan. Katanya, jiwa kompetisi ini harus dimiliki. Supaya unggul dari yang lain! Makin punya rangking kecil, makin disayang ortu dan populer di kalangan murid dan guru. Tak lupa, jadi objek obrolan di lingkungan dan kerabat.

Seiring perjalanan waktu, rangking di kelas mulai tergilas. Wali kelas menuliskannya kecil dan pakai pensil dalam kolom rangking raport ajaran akhir. Rupanya, pemahaman rangking mulai dikikis. Tapi ya layaknya "New Normal" yang orang-orang berkeliaran masih tanpa masker. Kita ini sepertinya negara dengan tingkat kengeyelan tingkat tinggi. Gak mau berubah. Gak nyaman bertransformasi. Alih-alih berubah. Sepertinya cuma "dicustom" alias berganti cangkang. Rangking dah hilang, tapi gak faham esensinya hilang itu kenapa?

Para pemikir pendidikan kita waktu itu sudah sadar, bahwa kita itu harusnya bukan berkompetisi, tapi berkompetensi. Berkompetisi itu berhubungan dengan orang lain atau di luar dirinya. Sedangkan berkompetensi dengan kualitas diri kita sendiri.

Apakah berkompetisi itu buruk?
Seperti yang dijelaskan oleh Uti Charlotte Mason, berkompetisi bisa jadi tidak buruk, asal dipergunakan dengan tepat. Bahkan bisa menjadi motivasi diri. Misalnya seorang anak berkata "Aku ingin bisa membaca. Karena aku melihat kakak-kakakku begitu asyik terbenam dalam buku dalam-dalam hingga bisa bercerita kepadaku banyak hal tentang dunia ini". Tapi, akan menjadi tidak baik ketika orang tua mengatakan "Jadilah seperti kakakmu yg pandai membaca".  Bedanya dikit doang, tapi efeknya beda jauuuh! Atau contoh lain yang juga dituangkan dalam tulisan bermakna CM. Berkompetisi dengan hal yang memang bisa dikompetisikan karena semua orang bisa melakukannya. Ketepatan waktu, ketertiban, memperhatikan, kehati-hatian, kepatuhan, dan kelemahlembutan. Alih-alih kompetisi dalam kecantikan, kepandaian, kecepatan, kekuatan, banyak-banyakan, kekayaan, dll.

Kompetisi/persaingan, menjadi amat buruk, ketika kita menjadi bersemangat untuk menjatuhkan (teman yang dianggap lawan), menggunakan segala cara untuk memenangkan, tidak terima terhadap kekalahan, ataupun sombong dengan keberhasilan. Bahkan kompetisi menjadikan kita lupa tujuan awal kita. Misalnya, tujuan belajar itu untuk menjadi manusia yang lebih baik, bukan untuk mendapatkan peringkat. Tujuan beribadah untuk bersyukur pada Allah dan menghadirkan Tuhan dalam hati dan perbuatan sehari-hari, bukan untuk memerlihatkan kalau kita sudah naik haji. Tujuan berperilaku adil terhadap sesama, bukan karena Nabi berperilaku adil, tapi ya karena adil itu salah satu sifat mulia yang (se-)harus(-nya) dimiliki oleh umat manusia tanpa memandang agamanya apa.

Dalam pembahasan kemarin, ada satu hal yang saya pertanyakan. Berkaitan tentang salah satu surah dalam Al-Quran (2:148) tentang "...fastabiqul khoirat.." yang di Indonesia diterjemahkan sebagai "...berlomba-lombalah dalam kebaikan...". Bersyukur, hal ini dijawab cantik oleh Om Sharkali bahwa arti yang pas sebenarnya adalah "...bersegeralah dalam kebaikan...". Hal senada akhirnya saya temukan dalam Tafsir Al Muyassar (Kementerian Agama Arab Saudi).


Dalam sudut pandang ekonomi, kompetisi dianggap sebagai hal yang wajar. Perebutan pasar menjadi hal yang sepertinya alami terjadi. Jika kita berperan sebagai pelakunya, sepertinya kita akan merasa terengah-engah. Capek karena menuruti perlombaan yang tiada henti. Saya jadi teringat dengan Steve Jobs yang begitu fokusnya dia membuat Apple kroak tanpa harus melihat pasar. Fokus pada berkompetisi pada diri sendiri.

Banyak didengung-dengungkan di media. Sekarang itu bukan jamannya berkompetisi, tapi berkolaborasi. Bekerja sama sesuai dengan keahlian masing-masing. Bukankah lebih baik.

*sedikit narasi, kebanyakan refleksi.

Rabu, 23 Januari 2019

Kunjungan ke Museum Manusia Purba Krikilan

 Hari yang indah pagi ini. Za, Ze, Zul dan Lugas berencana untuk mengujungi Museum Manusia Purba di Sangiran.

Kami bangun pagi-pagi sekali. Setelah semua siap, kami menjemput Lugas di rumahnya, Dampit.
Segera kami menuju ke tempat makan. Kami makan soto, di depan Alun-alun Magelang.
Makan di sana jadi berasa lebih lezat, karena kami makan bersama sahabat.

Jam 07.00 kami berangkat ke Sangiran. Di perjalanan, Mirza membacakan buku untuk kami semua. itu adalah buku milik Lugas. Buku yang berjudul Prasejarah. Bukunya bagus.

Perjalanan ini sangat menyenangkan. Tiga jam perjalanan kami. Tetapi terasa tidak cukup lama. Karena kami banyak menghabisakan waktu bersama dengan menyenangkan.







Akhirnya, tibalah kami di Museum Krikilan. Ini adalah museum manusia purba yang paling besar dan paling lengkap. Ada tiga ruang pamer.
 
Kami dipandu oleh pemandu wisata. Dari situ kami jadi tahu banyak hal tentang Sangiran dan manusia purbanya. 
Zeroun juga mengamati berbagai alat-alat yang terbuat dari batu. Ada bola batu, pisau batu, alat pemecah dari batu, dll. 






Mirza di sana melihat fosil buaya raksasa. Ada juga patung manusia purba yang tampak mirip seperti aslinya. Diorama di sana bagus-bagus. 
Zeroun penasaran sekali, karena ada banyak hal yang belum ia ketahui. 

Selain ke Museum Krikilan, kami juga ke 2 museum lain yang masih di sekitaran Sangiran, yaitu Museum Dayu dan Ngebung.

Cerita untuk 2 museum lain di halaman selanjutnya ya.

[cerita oleh Mirza dan Zeroun]

Selasa, 01 Januari 2019

Alat Pengundi Urutan untuk Melihat Video

Beberapa bulan ini, kami membebaskan anak berkreasi sesuka hati dengan alat seadanya. Ada beberapa kardus bekas, lem tembak, gunting. Dan....taaraaa!! Ini salah satu kreasi dari Mirza (8th, 7bln). Membuat mesin undian karena kadang ada kesulitan siapa yang akan melihat video atau main game duluan.
Berbekal spinnernya dan kardus, jadi deh.
Good job, nak.

Senin, 31 Desember 2018

Hutan Karet

Lamaaa banget gak posting. Oh, ternyata terakhir aku posting 2014. Itu pun postingan maksa!
Haha...ke mana ajakah selama ini?

Ok deh, pelan-pelan coba posting.



Kami berkunjung ke tempat Kakek kami, di salah satu desa, wilayah Salatiga. Ehm, sebenarnya ini masuk Kabupaten Semarang sih. Dari kota Salatiga masih cukup jauh, sekitar 20 menit ke arah utara.

Dari arah Salatiga, kita akan melewati gardu induk PLN dan terowongan tol baru Semarang - Kartasura baru sampai di desa kecil ini. Namanya desa Ngasinan, Padaan, Pabelan, Kabupaten Semarang.

Setibanya di sana, Mirza mengajak kami untuk berpetualang. Menjelajah desa ini. Dengan senang hati langsung kami iyakan.Jujur saja, sedari kecil aku belum pernah melakukan perjalanan sampai hutan karet ini.
Yeay..akhirnya sampai di hutan ini bersama keluarga kecilku.

Sewaktu kecil setahuku jalan ini penuh batu. Sekarang jalanannya sudah sangat rata. Anak-anak asyik sekali berlarian. 

Dalam hati bertanya, anak-anak itu suka sekali berlarian. Ketika berlari mereka tampak sangat bahagia. Apakah berlari itu menyenangkan. Hmmm.... Mungkin ya. Aku pun senang ketika olahraga sambil berlari-lari kecil. Jangan-jangan, kesenangan berlari itu tercerabut dari hati dan kebiasaan karena waktu kecil sering dibilang "Jangan lari!"
Hehe...


Di perjalanan dari Magelang-Salatiga anak-anak berceloteh tentang nama-nama hutan. Nama hutan ala anak-anak.
Ada...
hutan bambu = Bamboe Forest
dan muncullah
black forest = hutan hitam
hahaha....

Kalo hutan karet apa ya, namanya???
entahlah...

Kami mengamati getah karet yang ditempatkan dalam mangkuk-mangkuk kecil. Dan beneran, kalo kering kaya karet gitu, melar. Namanya juga karet ya.