Kamisan KSCM kemarin (minggu pertama Juni) cuma bahas 1 buyutnya bab, tentang kompetisi. Tapi, siapa kira, pertemuan online 2 jam itu kurang untuk membahasnya.
Suatu hal yang umum, apalagi kita para milenial, dari zaman sekolah sudah berkompetisi dengan memerebutkan rangking di tiap catur wulan. Katanya, jiwa kompetisi ini harus dimiliki. Supaya unggul dari yang lain! Makin punya rangking kecil, makin disayang ortu dan populer di kalangan murid dan guru. Tak lupa, jadi objek obrolan di lingkungan dan kerabat.
Seiring perjalanan waktu, rangking di kelas mulai tergilas. Wali kelas menuliskannya kecil dan pakai pensil dalam kolom rangking raport ajaran akhir. Rupanya, pemahaman rangking mulai dikikis. Tapi ya layaknya "New Normal" yang orang-orang berkeliaran masih tanpa masker. Kita ini sepertinya negara dengan tingkat kengeyelan tingkat tinggi. Gak mau berubah. Gak nyaman bertransformasi. Alih-alih berubah. Sepertinya cuma "dicustom" alias berganti cangkang. Rangking dah hilang, tapi gak faham esensinya hilang itu kenapa?
Para pemikir pendidikan kita waktu itu sudah sadar, bahwa kita itu harusnya bukan berkompetisi, tapi berkompetensi. Berkompetisi itu berhubungan dengan orang lain atau di luar dirinya. Sedangkan berkompetensi dengan kualitas diri kita sendiri.
Apakah berkompetisi itu buruk?
Seperti yang dijelaskan oleh Uti Charlotte Mason, berkompetisi bisa jadi tidak buruk, asal dipergunakan dengan tepat. Bahkan bisa menjadi motivasi diri. Misalnya seorang anak berkata "Aku ingin bisa membaca. Karena aku melihat kakak-kakakku begitu asyik terbenam dalam buku dalam-dalam hingga bisa bercerita kepadaku banyak hal tentang dunia ini". Tapi, akan menjadi tidak baik ketika orang tua mengatakan "Jadilah seperti kakakmu yg pandai membaca". Bedanya dikit doang, tapi efeknya beda jauuuh! Atau contoh lain yang juga dituangkan dalam tulisan bermakna CM. Berkompetisi dengan hal yang memang bisa dikompetisikan karena semua orang bisa melakukannya. Ketepatan waktu, ketertiban, memperhatikan, kehati-hatian, kepatuhan, dan kelemahlembutan. Alih-alih kompetisi dalam kecantikan, kepandaian, kecepatan, kekuatan, banyak-banyakan, kekayaan, dll.
Kompetisi/persaingan, menjadi amat buruk, ketika kita menjadi bersemangat untuk menjatuhkan (teman yang dianggap lawan), menggunakan segala cara untuk memenangkan, tidak terima terhadap kekalahan, ataupun sombong dengan keberhasilan. Bahkan kompetisi menjadikan kita lupa tujuan awal kita. Misalnya, tujuan belajar itu untuk menjadi manusia yang lebih baik, bukan untuk mendapatkan peringkat. Tujuan beribadah untuk bersyukur pada Allah dan menghadirkan Tuhan dalam hati dan perbuatan sehari-hari, bukan untuk memerlihatkan kalau kita sudah naik haji. Tujuan berperilaku adil terhadap sesama, bukan karena Nabi berperilaku adil, tapi ya karena adil itu salah satu sifat mulia yang (se-)harus(-nya) dimiliki oleh umat manusia tanpa memandang agamanya apa.
Dalam pembahasan kemarin, ada satu hal yang saya pertanyakan. Berkaitan tentang salah satu surah dalam Al-Quran (2:148) tentang "...fastabiqul khoirat.." yang di Indonesia diterjemahkan sebagai "...berlomba-lombalah dalam kebaikan...". Bersyukur, hal ini dijawab cantik oleh Om Sharkali bahwa arti yang pas sebenarnya adalah "...bersegeralah dalam kebaikan...". Hal senada akhirnya saya temukan dalam Tafsir Al Muyassar (Kementerian Agama Arab Saudi).
Dalam sudut pandang ekonomi, kompetisi dianggap sebagai hal yang wajar. Perebutan pasar menjadi hal yang sepertinya alami terjadi. Jika kita berperan sebagai pelakunya, sepertinya kita akan merasa terengah-engah. Capek karena menuruti perlombaan yang tiada henti. Saya jadi teringat dengan Steve Jobs yang begitu fokusnya dia membuat Apple kroak tanpa harus melihat pasar. Fokus pada berkompetisi pada diri sendiri.
Banyak didengung-dengungkan di media. Sekarang itu bukan jamannya berkompetisi, tapi berkolaborasi. Bekerja sama sesuai dengan keahlian masing-masing. Bukankah lebih baik.
*sedikit narasi, kebanyakan refleksi.